DPU DT BOGOR-Manusia tidak ada yang menginginkan harapannya sirna. Cita-cita tak
kunjung kesampaian, sakit fisik menahun dan musibah sering dialami.
Namun, kehidupan berjalan dengan sunnatullahnya sendiri. Ada siang
malam, hujan juga paceklik. Kita tidak bisa mengubah arah angin, tetapi
kita bisa mengubah arah layar, demikian petuah bijak mengajarkan.
Allah tidak menciptakan peristiwa atau kejadian sesuatu secara sia-sia. Manusia dianjurkan untuk merenung dan mengambil pelajaran dari berbagai macam peristiwa yang terjadi. Islam sangat mendorong umatnya untuk menggunakan potensi yang Allah berikan kepadanya. Penglihatan, pendengaran, hati, panca indra yang lain agar difungsikan untuk merenung hikmah dibalik peristiwa.
Allah yang Mahasuci dan Mahaluhur dengan gamblang menyatakan, "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak memperoleh seorang pelindung dan tidak pula penolong selain Allah." (QS. asy-Syuura [42]: 30-31).
Boleh jadi musibah yang menimpa manusia hadir karena ketidakpedulian, keserakahan dan kemaksiatan manusia lainnya. Misalnya gizi buruk (baca: kelaparan akut dalam jangka waktu lama), yang tanpa ampun merebak ke sebagian besar penjuru negara kita dan negara-negara lain termasuk negara maju.
Penyebab merebaknya gizi buruk adalah kombinasi dari berbagai faktor yang merupakan ulah manusia sendiri. Dari mulai kekeringan dahsyat yang sebagiannya akibat dari perubahan iklim ekstrim, peperangan, sistem ekonomi yang menjebak dunia dalam krisis global, hingga pemerintahan yang (nyaris) gagal membentuk masyarakat yang memiliki akses kepada pangan dan sarana kesehatan memadai.
Oleh karena itu, musibah adalah wasilah (cara) untuk manusia berbenah diri, mengevaluasi perilakunya terhadap sesama dan alam sekitar, pengingat akan kekuasaan Allah dan memperkokoh iman dengan sabar sehingga menjadi jalan taubat. Membuat iman semakin kuat dan makin mendekat kepada Allah. Bukankah kualitas kekuatan pribadi berbanding lurus dengan ‘skala' musibah yang menimpa seorang anak manusia?
Ada pun dalam perspektif penanggulangan musibah dan bencana, musibah justri menjadi ladang amal untuk memberikan pertolongan kepada yang menderita. Sehingga musibah justru menunjukkan kualitas kemanusiaan suatu masyarakat, yang saling peduli, saling menolong bahkan saling menanggung satu sama lain. Musibah bukan tidak mungkin memperkuat sinergi, kemitraan, memperkuat komunikasi dan mewujudkan the power of we (kekuatan kebersamaan).
Pesan positif dalam musibah diuntaikan dalam sebuah doa indah dari Rasulullah saw, "Jika salah satu di antara kalian mendapatkan musibah, maka ucapkanlah: ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kami kembali kepada-Nya,' Allahumma ‘indaka ahtasibu mushibatii, fa ajirnii ‘alaihaa waabdilnii bihaa khairan minhaa. Ya Allah kepada-Mu saya ikhlaskan musibah yang menimpaku, maka berilah pahala kepadaku atas musibah ini, dan berilah saya ganti yang jauh lebih baik darinya." (HR. Imam Muslim). Begitu pun sabda Allah, "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,..... dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap." (QS. al-Insyirah [94]: 5 dan 8).
M. Hari Sanusi (Kepala Cabang DPU Daarut Tauhiid Jakarta)
Allah tidak menciptakan peristiwa atau kejadian sesuatu secara sia-sia. Manusia dianjurkan untuk merenung dan mengambil pelajaran dari berbagai macam peristiwa yang terjadi. Islam sangat mendorong umatnya untuk menggunakan potensi yang Allah berikan kepadanya. Penglihatan, pendengaran, hati, panca indra yang lain agar difungsikan untuk merenung hikmah dibalik peristiwa.
Allah yang Mahasuci dan Mahaluhur dengan gamblang menyatakan, "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak memperoleh seorang pelindung dan tidak pula penolong selain Allah." (QS. asy-Syuura [42]: 30-31).
Boleh jadi musibah yang menimpa manusia hadir karena ketidakpedulian, keserakahan dan kemaksiatan manusia lainnya. Misalnya gizi buruk (baca: kelaparan akut dalam jangka waktu lama), yang tanpa ampun merebak ke sebagian besar penjuru negara kita dan negara-negara lain termasuk negara maju.
Penyebab merebaknya gizi buruk adalah kombinasi dari berbagai faktor yang merupakan ulah manusia sendiri. Dari mulai kekeringan dahsyat yang sebagiannya akibat dari perubahan iklim ekstrim, peperangan, sistem ekonomi yang menjebak dunia dalam krisis global, hingga pemerintahan yang (nyaris) gagal membentuk masyarakat yang memiliki akses kepada pangan dan sarana kesehatan memadai.
Oleh karena itu, musibah adalah wasilah (cara) untuk manusia berbenah diri, mengevaluasi perilakunya terhadap sesama dan alam sekitar, pengingat akan kekuasaan Allah dan memperkokoh iman dengan sabar sehingga menjadi jalan taubat. Membuat iman semakin kuat dan makin mendekat kepada Allah. Bukankah kualitas kekuatan pribadi berbanding lurus dengan ‘skala' musibah yang menimpa seorang anak manusia?
Ada pun dalam perspektif penanggulangan musibah dan bencana, musibah justri menjadi ladang amal untuk memberikan pertolongan kepada yang menderita. Sehingga musibah justru menunjukkan kualitas kemanusiaan suatu masyarakat, yang saling peduli, saling menolong bahkan saling menanggung satu sama lain. Musibah bukan tidak mungkin memperkuat sinergi, kemitraan, memperkuat komunikasi dan mewujudkan the power of we (kekuatan kebersamaan).
Pesan positif dalam musibah diuntaikan dalam sebuah doa indah dari Rasulullah saw, "Jika salah satu di antara kalian mendapatkan musibah, maka ucapkanlah: ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kami kembali kepada-Nya,' Allahumma ‘indaka ahtasibu mushibatii, fa ajirnii ‘alaihaa waabdilnii bihaa khairan minhaa. Ya Allah kepada-Mu saya ikhlaskan musibah yang menimpaku, maka berilah pahala kepadaku atas musibah ini, dan berilah saya ganti yang jauh lebih baik darinya." (HR. Imam Muslim). Begitu pun sabda Allah, "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,..... dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap." (QS. al-Insyirah [94]: 5 dan 8).
M. Hari Sanusi (Kepala Cabang DPU Daarut Tauhiid Jakarta)