Ketika
si tukang besi sedang duduk di rumahnya melepas lelah setelah seharian
bekerja, tiba-tiba terdengar pintu rumahnya diketuk orang. Si tukang
besi keluar untuk melihatnya, pandangannya menubruk pada sesosok
perempuan cantik yang tak lain adalah tetangganya.
"Saudaraku, aku menderita kelaparan. Jika bukan karena tuntutan agamaku yang menyuruh untuk memelihara jiwa (hifdz al-Nafs), aku tidak akan datang ke rumahmu. Maukah engkau memberikan makanan padaku karena Allah?" tutur perempuan itu.
Ketika itu, memang tengah datang musim paceklik (kemarau). Sawah dan ladang mengering. Tanah pecah berbongkah-bongkah. Padang rumput menjadi tandus hingga hewan ternak menjadi kurus dan akhirnya mati. Makanan menjadi langka, maka tak pelak kelaparan melanda sebagian besar penduduk desa itu. Hanya sebagian kecil yang masih bisa bertahan.
"Tidakkah engkau tahu bahwa aku mencintaimu? Akan kuberi engkau makanan, tetapi engkau harus melayaniku semalam," kata tukang besi itu.
Si tukang besi memang jatuh hati kepada tetangganya itu. Dia merayunya dengan berbagai cara dan taktik, namun tak juga berhasil meluluhkan hati perempuan itu.
"Lebih baik mati kelaparan daripada durhaka kepada Allah," ujar perempuan itu lagi sambil berlalu menuju rumahnya.
Setelah dua hari berlalu, perempuan itu kembali mendatangi rumah si tukang besi dan mengatakan hal yang sama. Demikian pula jawaban si tukang besi. Ia akan memberi makanan asalkan perempuan itu mau menyerahkan dirinya. Mendengar jawaban yang sama, perempuan itu pun kembali ke rumahnya.
Dua hari kemudian, perempuan itu datang lagi ke rumah tukang besi itu dalam keadaan payah. Suaranya parau, matanya sayu, dan punggungnya membungkuk karena menahan lapar yang tiada tara. Ia kembali mengatakan hal serupa. Begitu pula jawaban si tukang besi, sama dengan yang sudah-sudah. Perempuan itu kembali ke rumahnya dengan tangan kosong untuk kali ketiga.
Ketika itulah, Allah memberikan hidayah-Nya kepada si tukang besi. "Sungguh celaka aku ini, seorang perempuan mulia datang kepadaku, dan aku terus berlaku zalim kepadanya," tutur tukang besi dalam hatinya. "Ya Allah aku bertaubat kepada-Mu dari perbuatanku dan aku tidak akan mengganggu perempuan itu lagi selamanya."
Si tukang besi itu bergegas mengambil makanan dan pergi ke rumah perempuan itu. Diketuknya pintu rumah perempuan itu. Tak lama berselang, kerekek... terlihat pintu terbuka dan muncullah sesosok perempuan yang nampak kuyu.
Melihat si tukang besi berdiri di depan pintu rumahnya, perempuan itu bertanya, "Apa keperluanmu datang ke rumahku?"
"Aku bermaksud mengantarkan sedikit makanan yang aku punya. Jangan khawatir, aku memberinya karena Allah," jawab si tukang besi itu.
"Ya Allah, jika benar apa yang dikatakannya, maka haramkanlah ia dari api di dunia dan akhirat," tutur perempuan itu seraya menengadahkan kedua tanganya ke langit.
Si tukang besi itu pulang ke rumahnya. Ia memasak makanan yang tersisa buat dirinya. Tiba-tiba secara tak sengaja bara api mengenai kakinya, namun kaki si tukang besi itu tidak terbakar. Bergegas ia menemui perempuan itu lagi.
"Perempuan yang mulia, Allah telah mengabulkan doamu," ujar si tukang besi.
Seketika itu, perempuan itu sujud syukur kepada Allah. "Ya Allah engkau telah mewujudkan doaku, maka cabutlah nyawaku saat ini juga." Terdengar suara lirih dari mulut perempuan itu dalam sujudnya. Allah kembali mendengar doanya. Perempuan itu pun berpulang ke Rahmatullah dalam keadaan sujud.
Demikianlah kisah seorang perempuan yang menjaga kehormatannya meskipun harus menahan rasa lapar yang tiada tara.
Setiap muslimah mestinya dapat mengambil i'tibar (pelajaran berharga) dari kisah perempuan shalihah ini. Sosok yang mestinya dijadikan suri tauladan dalam kehidupan keseharian, bukan para artis yang menawarkan gaya hidup hedonisme dan materialism.
(Dikutip dari buku "Bidadari Dunia Potret Ideal Perempuan Muslim", Muh. Syafi'i al-Bantani)
"Saudaraku, aku menderita kelaparan. Jika bukan karena tuntutan agamaku yang menyuruh untuk memelihara jiwa (hifdz al-Nafs), aku tidak akan datang ke rumahmu. Maukah engkau memberikan makanan padaku karena Allah?" tutur perempuan itu.
Ketika itu, memang tengah datang musim paceklik (kemarau). Sawah dan ladang mengering. Tanah pecah berbongkah-bongkah. Padang rumput menjadi tandus hingga hewan ternak menjadi kurus dan akhirnya mati. Makanan menjadi langka, maka tak pelak kelaparan melanda sebagian besar penduduk desa itu. Hanya sebagian kecil yang masih bisa bertahan.
"Tidakkah engkau tahu bahwa aku mencintaimu? Akan kuberi engkau makanan, tetapi engkau harus melayaniku semalam," kata tukang besi itu.
Si tukang besi memang jatuh hati kepada tetangganya itu. Dia merayunya dengan berbagai cara dan taktik, namun tak juga berhasil meluluhkan hati perempuan itu.
"Lebih baik mati kelaparan daripada durhaka kepada Allah," ujar perempuan itu lagi sambil berlalu menuju rumahnya.
Setelah dua hari berlalu, perempuan itu kembali mendatangi rumah si tukang besi dan mengatakan hal yang sama. Demikian pula jawaban si tukang besi. Ia akan memberi makanan asalkan perempuan itu mau menyerahkan dirinya. Mendengar jawaban yang sama, perempuan itu pun kembali ke rumahnya.
Dua hari kemudian, perempuan itu datang lagi ke rumah tukang besi itu dalam keadaan payah. Suaranya parau, matanya sayu, dan punggungnya membungkuk karena menahan lapar yang tiada tara. Ia kembali mengatakan hal serupa. Begitu pula jawaban si tukang besi, sama dengan yang sudah-sudah. Perempuan itu kembali ke rumahnya dengan tangan kosong untuk kali ketiga.
Ketika itulah, Allah memberikan hidayah-Nya kepada si tukang besi. "Sungguh celaka aku ini, seorang perempuan mulia datang kepadaku, dan aku terus berlaku zalim kepadanya," tutur tukang besi dalam hatinya. "Ya Allah aku bertaubat kepada-Mu dari perbuatanku dan aku tidak akan mengganggu perempuan itu lagi selamanya."
Si tukang besi itu bergegas mengambil makanan dan pergi ke rumah perempuan itu. Diketuknya pintu rumah perempuan itu. Tak lama berselang, kerekek... terlihat pintu terbuka dan muncullah sesosok perempuan yang nampak kuyu.
Melihat si tukang besi berdiri di depan pintu rumahnya, perempuan itu bertanya, "Apa keperluanmu datang ke rumahku?"
"Aku bermaksud mengantarkan sedikit makanan yang aku punya. Jangan khawatir, aku memberinya karena Allah," jawab si tukang besi itu.
"Ya Allah, jika benar apa yang dikatakannya, maka haramkanlah ia dari api di dunia dan akhirat," tutur perempuan itu seraya menengadahkan kedua tanganya ke langit.
Si tukang besi itu pulang ke rumahnya. Ia memasak makanan yang tersisa buat dirinya. Tiba-tiba secara tak sengaja bara api mengenai kakinya, namun kaki si tukang besi itu tidak terbakar. Bergegas ia menemui perempuan itu lagi.
"Perempuan yang mulia, Allah telah mengabulkan doamu," ujar si tukang besi.
Seketika itu, perempuan itu sujud syukur kepada Allah. "Ya Allah engkau telah mewujudkan doaku, maka cabutlah nyawaku saat ini juga." Terdengar suara lirih dari mulut perempuan itu dalam sujudnya. Allah kembali mendengar doanya. Perempuan itu pun berpulang ke Rahmatullah dalam keadaan sujud.
Demikianlah kisah seorang perempuan yang menjaga kehormatannya meskipun harus menahan rasa lapar yang tiada tara.
Setiap muslimah mestinya dapat mengambil i'tibar (pelajaran berharga) dari kisah perempuan shalihah ini. Sosok yang mestinya dijadikan suri tauladan dalam kehidupan keseharian, bukan para artis yang menawarkan gaya hidup hedonisme dan materialism.
(Dikutip dari buku "Bidadari Dunia Potret Ideal Perempuan Muslim", Muh. Syafi'i al-Bantani)