“Ibu… Om datang.” Rangga berteriak kencang dan
berlari kegirangan sambil mengayun-ayunkan kedua tanggannya, itu isyarat bahwa
Rangga ingin segera dihampiri oleh Yudha. Yudha adalah adik dari Ibunya Rangga,
Rangga memanggilnya Om.
Yudha melempar senyum manis pada Rangga, lalu ia
kembali fokus pada tukang ojek yang mengantarnya dan membayar sewanya. Tak lama
kemudian Yudha menghampiri Rangga, Rangga pun sangat antusias, Yudha memeluknya
dan mencium ponakannya itu yang baru berumur empat tahun.
“Sudah lama sekali Om nggak ketemu kamu Nyil.”
kata Yudha.
“Iya Om, Om juga sudah lama sekali nggak
pulang-pulang.” Jawab Rangga si unyil yang lucu itu.
Unyil, begitulah Yudha memanggilnya. Karena saat
Rangga dilahirkan ke dunia badannya sangat kecil dan pendek sekali, walaupun ia
dilahirkan dengan normal seperti bayi-bayi lain pada umumnya.
“Kamu sekarang sudah tumbuh subur Nyil.” Ledek
Yudha.
“Iyalah Om, kan sekarang Rangga selalu dikirimi
uang jajan sama Om Yudha.” Jawabnya dengan manja.
“Ah kamu bisa saja Nyil.” (Yudha mencubit kedua
pipi Rangga).
“Ibumu mana Nyil?” Tanya Yudha, sambil melangkah
menuju pintu utama rumah.
“Lagi di dapur Om.” Jawabnya singkat.
Yudha pun masuk ruangan dengan hati yang
berbunga. Enam bulan sudah ia tidak pulang ke kampung halamannya, kesibukannya
bekerja dan kuliah membuatnya tak sempat untuk pulang. Yudha meletakkan tasnya
di meja belajar adiknya. Kebetulan Riani adiknya yang cantik sedang di pondok
pesantren, jadi mejanya kosong. Sebelum ia pulang, Yudha sempat memberi kabar
kepada adiknya, walaupun hanya pesan singkat lewat SMS.
Yudha : “lagi apa Dik?”
Riani : “Hah tumben Kang Udha SMS.” (hehehe).
“lagi di pondok Kang.”
Yudha : “Ya sudah belajar yang rajin ya Adikku
sayang.”
Riani : “Ada apa gitu Kang, tumben SMS Ri?”
Yudha : “Pagi ini Akang lagi diperjalanan pulang
Dik.”
Riani : “Akang curang, giliran Ri di rumah, Akang
nggak pulang-pulang.”
Yudha : “Cup…cup..cup.. Insya Allah Akang nanti
mampir juga ke Pondoknya Adik ya.”
Riani : “Bener ya Kang, ditunggu. Jangan lupa
bawa oleh-olehnya.”
Yudha : “Oke Kutil. Semangat belajar ya.
Assalamu'alaikum.”
Riani : “Wa’alaikum Salam. Hati-hati ya Kang
Udha.”
Sebagai adik dan kakak, Yudha dan Riani sangat
dekat, akrab sekali, beda halnya dengan kedua kakak mereka lainnya. Riani jika
ada masalah selalu datang dan menceritakannya pada Yudha. Sampai masalah putus
sandal pun curhatnya pada Yudha.
***
Setelah Yudha menaruh tasnya diatas meja belajar
Riani, ia langsung menuju dapur. Di sana hanya ada Mbak Yanti.
“Assalamu'alaikum.” Sapa Yudha.
“Wa’alaikum Salam.” Jawab Mbak Yanti.
“Yudha…” Mbak Yanti terkejut.
“Kenapa Mbak, kok kaget gitu, padahal tadi si
Unyil sudah teriak-teriak diluar”.
“Nggak dengar, mungkin Mbak tadi lagi di kamar
mandi.” Ucapnya.
“Kenapa kamu nggak ngabarin dulu.” Lanjut Mba
Yanti.
“Sengaja Mbak, tapi… tadi pagi sudah SMSan sama
si Kutil yang lagi di pondok.”
“Ibu sama Bapak kemana ya mbak?” Tanya Yudha.
“Ibu ke pasar, kalau Bapak baru saja berangkat ke
sawah, sekalian mau ngambil pisang di kebun katanya.” Jelas Mbak Yanti. Yudha
hanya menjawab "Iya" dan manggut-manggut.
Enam bulan sudah Yudha tidak menghirup udara
segar di kampungnya. Rindunya benar-benar nyata, hatinya berbunga-bunga,
pikirannya langsung melayang pada novel-novel koleksinya. Ia begitu merindukan
cerita “Si Miskin Di Larang Maling”, ia juga rindu pada cerita buku “A Passion
For Living”. Yudha melangkah menghampiri buku-buku koleksinya yang tertata rapi
dirak, ia mengusap bukunya satu per satu.
“Dha ini teh manisnya.” Mbak Yanti menyodorkan
secangkir teh manis hangat dan satu piring pisang goreng kesukaannya.
“Terima kasih Mbak. Mbak selalu ingat dengan
pisang goreng kesukaanku.”
“Iya Adikku. Mana mungkin Mbak lupa dengan
makanan kesukaan adik Mbak tersayang ini.” Rayunya pada Yudha.
“Hmmm.. Pasti kamu lagi kangen ya sama buku-buku
koleksimu itu?” lanjutnya.
“Iya Mbak, enam bulan nggak lihat buku-buku ini,
rasanya kangen juga.” Jawabnya lirih.
"Ya sudah, lanjutkan kangen-kangenannya sama buku-bukumu itu. Mbak Tinggal kebelakang dulu ya."
"Ya sudah, lanjutkan kangen-kangenannya sama buku-bukumu itu. Mbak Tinggal kebelakang dulu ya."
"Iya Mbak." Jawab Yudha.
Lalu Mbak Yanti meninggalkan Yudha sendirian
bersama buku-bukunya diruangan itu, Rangga pun turut serta bersama Ibunya dan
menghilang dari pandangan Yudha.
Beberapa saat sudah Yudha berhadapan dengan rak
tempat koleksi bukunya terpampang. Yudha mulai membongkarnya, satu persatu
diperhatikannya buku-buku itu, dibacanya judul demi judul, lalu matanya tertuju
pada satu buku yang berjudul “Biografi Rasulullah” karya DR. Mahdi Rizqullah
Ahmad. Yudha perlahan membuka lembar-lembaran buku tersebut. Ia tersenyum,
kadang mengerutkan dahinya saat membaca kalimat demi kalimat yang ada di buku
itu, ia tak bergeming, begitu fokus membacanya. Tiba-tiba ia melihat sebuah
catatan kaki “My Beloved Yayu.” Ia tersentak, lalu memejamkan matanya.
Menelusuri nama itu dalam pikirannya, dan terbayanglah sosok seorang gadis yang
bernama Yayu. "Ya.. Yayu." lirih Yudha. Wajah gadis itu berseri,
dengan hijab yang tak pernah lepas dari kepalanya, sholat yang tak pernah lewat
dan ditinggalkannya. Yayu, seorang aktivis yang begitu kritis. Yudha
merindukannya.
“Assalamu'alaikum.”
Yudha tersadarkan dari lamunannya, Salam itu,
khas suara Ibu.
“Wa’alaikum Salam.” Sahut Yudha.
“Ibuuu…” Sapa Yudha.
Ia menghampiri Ibunya. Sambil mencium tangan dan
memeluk Ibunya dengan erat.
“Kapan datang Nak, kok nggak memberi kabar
sebelumnya.”
“Kangen sekali sama Ibu.” Lirih Yudha.
“Iya Nak, Ibu juga kangen sama kamu.” Ibu
mengusap-usap punggung Yudha dengan hangat.
Setelah melepas rindu dan bercengkrama, Ibu pun
meninggalkan Yudha dan melanjutkan pekerjaannya. Yudha pun kembali sendirian.
Hari sudah siang, waktu dzuhur sudah dekat. Yudha pun membersihkan badannya dan
siap-siap pergi menuju Masjid. Lima belas menit sebelum Dzuhur Yudha harus
sudah sampai di Masjid ujar batinnya. Ia berniat akan menunggu sholat dzuhur
sambil membaca Al-Qur'an.
***
Ba’da dzuhur Yudha memilih untuk pergi ke sawah
menyusul bapaknya. Yudha ingin menikmati hamparan sawah dan menyapa alam
semesta Indonesia Raya dalam kesunyian. Ia ingin kembali bersahabat dengan alam
dan burung-burung yang terbang dialam bebas. Ia juga ingin menyapa
tanaman-tanaman di pinggir sawah dan menghirup udara bebas dipersawahan. Enam
bulan di kota besar membuatnya rindu akan alam, rindu pohon-pohon rindang,
rindu hijaunya sawah.
Yudha beranjak dan berangkat kesawah sendirian,
karena ia berpikir di sana ada Bapak. Sesampainya di sana, ternyata Bapak sudah
tidak ada, mungkin Bapak sudah pergi lagi mengambil pisang dikebun, pikirnya.
Yudha duduk santai di Saung pinggir sawah. Angin
semilir menyapanya, sejuk. Yudha menghirupnya dalam-dalam. Kicauan burung yang
terbang di siang hari pun menemaninya. Hamparan sawah ini sangat luas, hijau
tanpa batas.
Yudha merebahkan badannya di Saung, memejamkan
mata, namun tak tidur. Ia merindukan seseorang selain kedua orang tuanya. Ya…
Ia rindu pada Yayu. Dua tahun lalu di Saung ini Yudha dan Yayu sempat
membicarakan keinginan mereka untuk memanfaatkan sawah sebagai tanaman sayuran.
Bukan hanya itu, Yudha pun punya hubungan yang serius dengan Yayu. Bahkan kedua
orang tua Yayu pun sudah merestui hubungan mereka. Tapi sayang, semua itu
hanyalah kenangan, kenangan pahit yang tak akan terlupakan dalam hidupnya. Yayu
meninggalkan Yudha untuk selamanya. Mereka terpisahkan, kecelakaan yang menimpa
Yayu membuat Yayu menghembuskan nafas terakhirnya. Yudha menerawang jauh kemasa
lalu dan mengingat kembali masa-masa dua tahun silam sini.
“Yu kalau kamu nanti sudah lulus kuliah, apa yang
akan kamu lakukan di sini?” Tanya Yudha.
“Yayu ingin hidup bersama Kang Yudha di sini,
bersama membina rumah tangga, dan menerapkan agama di tanah tercinta ini. Dan
Yayu ingin mengembangkan ilmu di sini, didesa tempat kelahiran Akang. Tanahnya
subur, cocok untuk bercocok tanam. Sekaligus menanam cinta kita berdua di sini
Kang”. Kata Yayu memaparkan mimpi-mimpinya penuh harap.
***
Pembicaraan itu rasanya masih terngiang. Yudha
memejamkan matanya kembali. Ia tak kuasa menahan rasa rindunya. Bulir air
matanya mengalir membasahi pipinya. Yayu sempat pamit untuk pergi melaksanak
penelitian tugas akhirnya. Ia kuliah di salah satu Istitut Pertanian terkemuka
di Indonesia. Saat berangkat ke lokasi, mobil yang ditumpanginya terjun ke
jurang. Tidak ada yang selamat satu orang pun, termasuk Yayu.
“Ya Tuhan, jika ini semua yang terbaik untukku
menurutMu, maka jadikan masa lalu ini sebagai jamuan sejati dan sebagai
penyemangat hidupku. Karena hanya Engkaulah yang Maha Tahu apa yang terbaik
untukku. Ya Tuhan, tempatkanlah Yayu di surga-Mu. Aamiin.
***
Hari itu begitu cerah, Yudha masih menikmati
suasana di hamparan sawah yang luas. Anginnya sejuk, semilir, membuat Yudha tak
tahan melawan rasa kantuknya. Ia segera merapihkan Saung itu, mengambil posisi
yang paling nyaman. Lalu ia mengambil handphonenya dan memutar lagu kesukaannya
“George Benson - Nothing Gonna Change My Love For You.” Ia mendengarkannya mulai
terlelap, lalu Yudha berucap dalam hati “ADINDA YAYU KAU ADALAH JAMUAN MASA
LALU KU”. Sampai pada akhirnya Yudha tertidur lelap bersama mimpi yang indah di
siang bolong.
@sakirTM
Posting Komentar