Oleh : Ninih Muthmainnah
Saudaraku, suatu saat ada seorang muslimah
datang ke rumah menemui saya. Kemudian ia mengungkapkan isi hatinya
dengan nada penyesalan. Ia merasa bersalah karena telah menyakiti
orangtuanya. Walau ucapannya kurang jelas karena lidah muslimah tersebut
telah terpotong, namun saya dapat menangkap inti pembicaraannya. Ia
berujar seperti ini:
Suatu hari ibu
meminta saya untuk mengantarnya pergi ke suatu tempat. Tetapi saya
menolaknya. Sambil mempersiapkan barang-barang yang harus saya bawa ke
tempat kerja, dengan suara meninggi saya bilang kepada ibu bahwa saya
sibuk, harus masuk kerja. Lalu saya pergi ke kantor dan meninggalkan ibu. Mungkin saat itu hati ibu terluka karena saya. Kejadian seperti ini bukan hanya terjadi sekali itu saja.
Di perjalanan menuju
tempat kerja, saya sangat terburu-buru. Waktu itu saya sendiri yang
menyetir mobil. Tiba-tiba saya menabrak sebuah mobil yang sedang parkir.
Muka saya membentur setir mobil dengan sangat keras. Dan lidah
saya tergigit hingga hampir putus. Darah pun bercucuran. Kemudian saya
pingsan.
Ketika saya sadar, saya telah berada
di sebuah rumah sakit yang sangat sederhana. Lidah saya yang hampir
putus itu dijahit di sana tanpa menggunakan obat bius (karena tidak
tersedia). Masya Allah, sakitnya bukan main. Rasa sakit yang tak
terhingga saat lidah saya dijahit. Itu membuat saya menjerit-jerit
kesakitan.
Setelah lidah dijahit, saya harus istrahat bicara, makan dan minum selama dua bulan.
Suatu waktu, saya mengambil selembar kertas. Di atas kertas itu saya menulis surat untuk ibuku. “Ibu maafkan aku. Rasa sakit yang tak tertahankan telah kurasakan saat lidahku dijahit. Ini
mungkin hukuman atas dosa lidah yang lancang pada ibu. Ibu, maafkan
anakmu. Mungkin anakmu ini tidak akan bisa berkata-kata lagi. Ibu,
maafkan aku.” Air mata terus menetes di pipi tak bisa dibendung saat menulis surat itu. Saya berpikir bahwa saya tidak akan bisa berbicara lagi.
Beberapa jam kemudian, ibu datang. Tidak sedikit pun
perasaan dendam tergambar dalam wajahnya. Ibu langsung memeluk saya
dengan penuh kasih sayang. Dan pada saat ibu membaca surat yang saya
tulis, ibu langsung menangis. Ia berkata, ”Enggak apa-apa, nak. Lupakan saja. Ibu telah memaafkanmu.” Kemudian saya mengambil lagi kertas itu dan menulis, ”Wahai manusia, jangan engkau sakiti ibumu. Jangan engkau undang siksa Allah SWT.”
Saudaraku, betapa besar jasa dan
pengorbanan seorang ibu terhadap anaknya. Di saat mengandung, kondisi
tubuh melemah karena kehadiran jabang bayi dalam rahimnya, tidak
membuatnya membenci anaknya itu. Saat melahirkan, rasa sakit tak
tertahankan dengan rela ia jalani demi sang anak yang dinanti. Setelah
anak lahir, ia dengan telaten menjaga dan membesarkan serta mendidiknya.
Ia sabar ketika hari-hari dan malam-malamnya diganggu oleh rengekan dan
tangisan anaknya. Ia pun rela menghemat uang agar bisa membeli sepatu
bagus, tas sekolah, atau apa pun untuk anaknya. Tetapi, mengapa setelah
sang anak besar, tiba-tiba anaknya menjadi egois dan kurang ajar
terhadap ibunya? Pernahkah si anak berpikir, bagaimna nasibnya jika
hidup tanpa belaian dan kasih sayang ibunya?
Saudaraku, al-Quran melarang kita
menyakiti orangtua. Jangankan mengucapkan kata-kata kasar atau
memperlakukan mereka dengan perlakuan buruk, mengatakan ”ah” saja pun
itu dilarang oleh Allah. Sebaliknya, al-Quran mewajibkan kepada kita
untuk berbuat baik terhadap orangtua.
“Dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam peliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan ”ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia.” (QS. al-Isra [17]: 23).
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu aku kecil.” (QS. al-Isra [17]: 24).
“Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua
tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya
kepada-Ku-lah tempat kembalimu.” (QS. Lukman [31]: 14).
Saudaraku, barangkali engkau telah mengetahui hadis nabi Muhammad saw, “Ridho Robbi fii ridho walidaeni, wa suhtu Robbi fii suhtul walidaeni. ”
(Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orangtua, dan murka Allah
pun tergantung kepada murka orangtua). Oleh karena itu, wahai saudaraku,
marilah kita bertekad dan berjuang all out agar jangan sampai menyakiti orangtua kita. Jika telah tiada, berdoalah agar mereka selamat sampai di surga Allah SWT.
Posting Komentar