Yayasan Kunci Kemurnian Sejahtera

Mengikis Futur

<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGOx0L1LtwRzGnLqqtGg_bGZ4TJrfqvH0qbsce_abFpCjicsQ0x3OS_BN1fooh9GUqLHRp-B5seboj6yScnxf70YfMWwS2WQ6esWveOKMKH7l1OgJ98BEg6XvUB67-9Pdy8AQauLnCprqW/s1600/futur.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="246" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGOx0L1LtwRzGnLqqtGg_bGZ4TJrfqvH0qbsce_abFpCjicsQ0x3OS_BN1fooh9GUqLHRp-B5seboj6yScnxf70YfMWwS2WQ6esWveOKMKH7l1OgJ98BEg6XvUB67-9Pdy8AQauLnCprqW/s320/futur.png" width="320" /></a></div>
<b><a href="http://dpudt-bogor.com/">dpudt-bogor.com</a> - </b><i>Futur</i>. Sebuah istilah yang menggambarkan kondisi 
<i>ruhiyyah</i> seseorang yang sedang menurun. Atau dengan istilah yang lebih 
sederhana, <i>futur</i> ialah "penurunan semangat beribadah."<br />
<br />

Ketika seseorang yang biasa bersemangat menamatkan Al-Qur'an satu juz dalam 
satu hari, kemudian menurun atau tiba-tiba kehilangan semangat membaca 
Al-Qur'an, maka itulah futur. Atau juga ketika seseorang yang jiwa sosialnya 
tinggi, perhatian dan peka terhadap kondisi saudara-saudaranya se-aqidah, suatu 
waktu ia merasa berat dan tidak mampu memperhatikan orang lain, kepekaannya 
menurun, egonya meningkat, dan bahkan berdiam diri ketika saudaranya sedang 
membutuhkan pertolongan. Atau fenomena lain dari futur adalah ketika orang yang 
senantiasa melakukan <i>amar maâ€™ruf nahyi munkar</i>, tapi â€“suatu waktu â€“ 
kemudian semangat amalnya menurun dan bahkan mungkin â€“ketika kondisi seperti 
itu terus dibiarkan â€“ akhirnya ia sendiri melakukan penyimpangan-penyimpangan 
amal.<br />
<br />

Memang, <i>futur</i> itu memiliki tingkatan-tingkatan. Ada <i>futur</i> yang 
masih tergolong rendah dan ada <i>futur</i> yang sifatnya kronis. <i>Futur</i> 
yang terbilang rendah, biasanya tergambar dalam penurunan kualitas dan kuantitas 
ibadahnya saja. Artinya ia masih berada di rel yang benar, ia masih mengikuti 
gerbong Al-Qur'an dan as-Sunah. Meskipun, kadang ia tertatih-tatih di rel itu, 
dan bahkan teringgal di belakang. <br />

<i>Futur</i> yang seperti ini, pada permulaannya memang tidak terlalu 
berbahaya, karena hal itu merupakan tabiat manusia, bahkan itulah -mungkin- yang 
dimaksud dengan <i>al-imanu yazidu wa yanqusu</i>, Iman itu kadang bertambah dan 
kadang berkurang. Fluktuatif keimanan merupakan hal yang wajar bagi setiap 
orang, karena tidak ada di dunia ini manusia yang selamanya benar, seperti 
halnya tidak ada yang selamanya salah.<br />
<br />

Akan tetapi, ketika kondisi seperti itu terus dibiarkan dalam rentang waktu 
yang cukup lama, maka tentu saja lambat laun ia akan merosot dan terus merosot. 
Kualitas keimanannya semakin lama akan semakin rendah dan lemah. Dan bahkan 
mungkin saja, ia akhirnya terperosok pada <i>futur</i> "skala tinggi." Bukan 
hanya penurunan kuantitas dan kualitas ibadahnya saja yang nampak pada dirinya, 
akan tetapi, lebih besar dari itu, ia tidak lagi berada pada rel ketaatan. 
Ke-<i>futur</i>-annya digambarkan dengan beralihnya taat menjadi maksiat, pahala 
dengan dosa. <i>Na'udzubillah min dzalik</i>.<br />
<br />

Memang, manusia tidak ada yang bisa lepas dari kesalahan. Setiap orang pasti 
ada yang pernah berbuat kesalahan dan dosa. Karena ia bukanlah malaikat yang 
senantiasa patuh dan taat kepada Allah. Hal ini, sebagaimana yang telah 
disampaikan oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya; "Setiap Bani Adam itu 
pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah 
orang yang bertaubat."<br />

Akan tetapi, kalau kita cermati lagi hadits di atas, sebenarnya yang menjadi 
titik permasalahannya â€“dan itu yang sering tidak kita perhatikanâ€“ adalah ada 
atau tidaknya proses taubat yang dilakukan oleh orang yang telah berbuat 
kesalahan tersebut. Oleh karena itu, kesalahan â€“dalam batasan tertentu â€“ 
bagi manusia merupakan sebuah kewajaran, akan tetapi terus menerus dan terlena 
dalam kesalahan tersebut merupakan ketidakwajaran.<br />
<br />

Hal ini pun secara jelas telah disebutkan oleh Allah swt dalam Al-Qur'an, Ia 
berfirman; "Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang 
yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat 
dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha 
Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS 4:17)<br />
<br />

Taubat inilah yang menjadi standarnya. Oleh karena itu ketika dalam 
kesalahannya ia tidak segera bertaubat (kembali pada Allah), maka kesalahannya 
itu bukanlah sebuah kewajaran lagi. Allah berfirman, "Dan tidaklah taubat itu 
diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila 
datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, 
"Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) 
orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu 
telah Kami sediakan siksa yang pedih." (QS 4:18)<br />

<br />Kembali pada permasalahan <i>futur</i>, maka sebenarnya yang diperlukan 
oleh seorang muslim adalah komitmen dan keistiqamahan dalam setiap amal. Dan 
tentu saja semuanya harus dibarengi dengan bertahap dan tidak berlebihan 
(<i>ghuluw</i>). Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw 
bersabda, â€œBerlaku moderatlah dan beristiqamah, ketahuilah sesungguhnya tidak 
ada seorang pun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, â€œDan 
juga kamu Ya â€¦ Rasulullah, Beliau bersabda, â€œDan juga aku (tidak selamat 
juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerah-Nya.â€ 
(H.R. Muslim).<br />
<br />

Oleh karena itu, ketika ia mengalami ke-<i>futur</i>-an pun, maka 
<i>futur</i>-nya itu tidak keluar dari "rel yang benar", dan ia tidak melakukan 
sebuah penyimpangan amal. Dalam sebuah hadits pun disebutkan bahwa <i>futur</i> 
merupakan sebuah fenomena yang menggambarkan batasan <i>juhud</i> (kesungguhan 
beramal) seseorang, ada yang tetap berada dalam <i>bi'ah imaniyyah</i>, ada juga 
yang keluar dari rel dan berbuat penyimpangan.<br />
<br />

Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, â€œSetiap 
amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami ke-<i>futur</i>-an 
(keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa <i>futur</i>-nya (kembali) kepada 
sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa <i>futur</i>-nya 
(kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka.â€ (HR Imam 
Ahmad)<br />
<br />

Selain dari itu, perjuangan melawan <i>futur</i> harus dimulai dari hati. 
Karena hati merupakan pusat dari segalanya, sebagaimana dalam hadits, â€œApabila 
ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila ia rusak maka rusaklah 
seluruh jasadnyaâ€. Kebeningan hati dan ketulusan iman serta keikhlasan berdoa 
merupakan senjata ampuh untuk mengikis <i>futur</i> dan mengembalikannya kepada 
<i>ghirah</i> dan <i>hamasah</i> beramal yang tinggi.<br />
<br />

Maka, di sinilah pentingnya kita senantiasa mengontrol kondisi 
<i>ruhiyyah</i>-nya, menimbangnya dengan timbangan-timbangan amal keseharian, 
sehingga ia bisa segera menyadari apa yang sedang terjadi pada 
<i>ruhiyyah</i>-nya.<br />
<br />

<b>Penulis   : Haris Ramlan<br />Sumber  : Eramuslim</b>

Mengikis Futur

dpudt-bogor.com - Futur . Sebuah istilah yang menggambarkan kondisi ruhiyyah seseorang yang sedang menurun. Atau dengan istilah yang le...

Assalamualaikum!