Kesejukan pagi
masih aku nikmati, udaranya menerpa pori-pori kulitku, begitu lembut dan
membuatku nyaman, damai serta aroma kesegaran yang selalu disuguhkannya. Aku
mematung, terdiam menikmati pemandangan yang indah, rumput yang tumbuh subur,
ia bergoyang seolah-seolah melambaikan tangannya, mengucapkan selamat pagi. Lalu
aku tersenyum membalas sapaan pagi itu, aku menyadari, ternyata di kota besar ini masih
kudapatkan rumput yang tumbuh dengan subur, ini sebuah kenikmatan yang meski
aku syukuri.
Jarum jam terus
berputar, detaknya terus berhitung berulang-ulang. Aku melaju mengelilingi
rumah yang baru aku tinggali, pagi ini aku menemukan hal yang berbeda, di
tempat yang beda dan di kota
yang beda. Tibanya di kota ini aku niatkan untuk belajar,
kemandirian salah satunya. Di sini, di kota
besar aku hidup sendiri, hanya doa dan semangat yang aku sematkan.
Aku terus
mengitari rumah ini, beberapa pohon yang rindang sumber kehidupan yang damai,
kesejukan yang tiada ternilai, dan yang paling manis, kudapati beberapa burung
itu menyambutku penuh dengan kehangatan, mengalahkan rumput-rumput yang
bergoyang. Mereka bersaing mengucapkan selamat pagi padaku.
Hari minggu
nampak sepi di Beji, hanya beberapa orang kudapati berlalu lalang, “hai mas,
tinggal di sini?” tanya seorang ibu yang hendak lari pagi. “iya bu, aku baru
kemarin di sini”. Jawabku ringan. “duluan ya mas”, lanjut ibu yang tak dikenal.
Aku kembali sendiri, ku mencoba melangkah lagi, membuka gerbang rumah untuk
mencari hal yang berkah. Tiba-tiba tetanggaku keluar rumah, seorang ibu
berambut pendek dan ikal. “eh mas, tinggal di rumah ustadz ya?”. Tanyanya. “iya
bu”, jawabku singkat. Aku tak ambil banyak waktu, kudekati ibu itu, lalu aku
silaturahmi dengannya. “maaf sebelumnya. Dengan ibu siapa?” “panggil saja ibu
Sani”. “oh iya bu sani.” Aku manggut-manggut
ringan. “bapaknya ke mana bu?” lanjutku, “bapak masih tidur mas”.
Imbuhnya. “maaf dengan mas siapa? Bu Sani balik tanya. “panggil saja Ridwan
bu”. Bu Sani pun manggut-manggut melakukan hal yang sama seperti apa yang aku
lakukan.
Perkenalan it
uterus berlanjut, sampai tak terasa matahari telah menyinari kami, menandakan
bahwa kami harus bubarkan diri masing-masing. Aku kembali ke rumah, dengan
segala aktivitasku yang siap aku jalani. Kuambil segala persiapan untuk
membersihkan buku-buku, aku tersenyum, bahwa inilah sebuah keputusan yang
membuatku bahagia. Aku teringat pesan ustadz Dedhi. Beliau berpesan. “jadilah
dirimu sendiri, bangunlah karaktermu sendiri, karena itu penting”. Imbuhnya.
Lalu beliau diam. Kemudian berkata kembali, “lakukan sesuatu yang membuat kamu
bahagia dan bermanfaat untuk orang lain”. Di rumah yang baru aku huni sekarang,
aku tersenyum, mengingat lekat-lekat apa yang disampaikan ustadz Dedhi waktu
itu.
Kulanjutkan
aktivitasku, merapikan satu per satu berkas yang tertimbun debu-debu nakal yang
hinggap di sana.
Aku pun dengan senang mengerjakan ini semua, di sini tempat orang-orang
istimewa, bayangkan saja, tentanggaku, bu Sani itu sangat ramah, baru saja ketemu,
sudah ngobrol panjang lebar, betapa menyenangkannya bu Sani itu, di kota besar seperti ini,
masih ku temukan orang-orang seperti bu Sani.
Bagiku, ini
keputusan yang menarik, berhijrah dari tempat kelahiranku menuju kota Jawa Barat ini,
sebelum aku berangkat, aku selalu minta pendapat pada sahabatku, ya Tedi. “Ted
mulai bulan depan, aku mau resign dari kerjaan ini”. “kamu kenapa mau resign?”
imbuhnya, “tapi kamu nggak melotot gitu kali Ted. Sanggahku. “iya Ted, aku
rasa, ini adalah pilihan terbaikku yang mesti aku ambil, jujur Ted, ini
duniaku, aku ingin melanjutkan berkarya, mengajak kebaikan lewat tulisan, aku
ingin tulisanku menjadi sebuah ajakan positif bagi mereka” jelasku pada Tedi.
Akhirnya Tedi memahami apa yang aku perbuat. “ya sudah jika itu terbaik bagimu,
aku hanya berpesan sama kamu Wan, kamu orangnya penuh semangat, kamu jangan
menyerah, tantanglah dirimu dengan hal baru, ujilah kehidupanmu dengan
kemandirian, tetaplah dirimu dalam koridor kebaikan, dan asal kamu tahu. Dan
dengan itu, hidupmu akan sukses oleh caramu sendiri”. Pesan yang akurat dari
sahabat, aku semakin yakin untuk melaju lebih jauh, Tedi memang sahabat yang
selalu mengerti posisi orang lain. Ucapnya makin terdengar jelas di telingaku.
Tiba-tiba pintu diketok. “siapa?” teriakku. “bu Sani kang.” Jawabnya singkat.
Bu Sani memanggilku akang. Pikirku memutar. “iya bu, sebentar”. Aku bergegas membuka pintu, setelah pintu
terbuka, kudapati bu Sani dibalik pintu, “panggilnya akang saja ya”. Pinta bu
Sani”. “kalau aku terserah ibu, bagaimana enakanya saja” . timpalku. “jadi gini kang, ini kan rumput di halaman rumah sudah pada
gondrong, nanti kalau butuh apa-apa ke rumah saja ya.” “oh iya bu terima kasih.” Bu Sani tahu saja
ya, di rumah ini minimnya alat rumah tangga. Gumamku. “Ibu pamit dulu ya kang,
ini mau siap-siap arisan keluarga dulu.” “assalamualaikum.” Bu Sani pamit,
“wa’alaikumsalam.” Jawabku.
Aku pun kembali
bercengkrama dengan buku-buku yang penuh dengan debu, ku usap satu-satu, dengan
kelembutan hati, bahwa ini adalah sebuah ilmu yang terlantarkan. “sayang sekali
buku-buku ini penuh debu”. Gumamku. Beberapa kali aku menyapukan sampah-sampah
kering yang kutemukan di balik lemari, aku terperangah, menemukan secarik
kertas yang sudah rusak termakan rayap, aku satukan kertas itu, dia membentuk
sebuah kalimat yang sangat indah, ini motivasi besar namanya, tertuliskan,
“hari ini aku harus lebih baik dari hari kemarin, jika hari ini sama dengan
hari kemarin, maka aku menjadi orang yang rugi, dan jika hari ini lebih buruk
dari hari kemarin, maka celakalah aku.” Aku pun ternganga dengan kata itu,
indah, menusuk dalam sukma dan mampu mengajak untuk berpikir. Pikiranku
melayang, menelaah dari kata-kata itu, “memang benar, jika itu terjadi
kemunduran sikap, berarti aku sangat rugi.” Batinku. Pintu diketuk kembali, aku
terkesiap, tersadar dari telaah kata itu. Suara bu Sani terdampar kembali
dibalik pintu. “kang Ibu mau pergi, ini ada teh manisnya.”
“wah jadi
merepotkan ibu.”
“tidak apa-apa
kang, selagi masih ada di rumah”. Tukasnya penuh dengan kehangatan. Tak ku
sangka, hidup di kota besar seperti ini, masih ku temukan orang sehangat air
teh dalam gelas ini, aku menemuinya hanya beberapa jam, namun batinku
mengatakan, ibu Sani sangat baik, ramah dan murah senyum. Ibu Sani berhati malaikat,
berwujud manusia yang berambut pendek, inilah kebaikan yang tidak pernah
tergantikan, hidup berujung manis, bagaikan teh yang dibuatnya.
Depok, … Februari 2014
Muhamad Sakir