Musim kemarau
sudah tiba, udara dingin di malam hari, jika siang tiba, maka sungguh tak
tertahankan panasnya terik matahari. Itu yang selalu dirasakan Ibu Nuriyah. Ibu
Nuriyah yang selalu sabar menanti suaminya. kang Dirman, suami Ibu Nuriyah yang
menjadi TKI di Malaysia, sudah satu tahun dari pemberangkatannya ke Negeri
Jiran, kang Dirman tak pernah memberi kabar padanya. Dia khawatir, cemas dan
gundah terhadap suaminya, saat ini hanya doa yang selalu ia kirim pada
suaminya, ia panjatkan kepada-Nya, ia bersimpuh dalam sembah sujudnya. Menatap
kosong foto kang Dirman, betapa ia menyimpan rindu yang selalu memupuk dalam
benaknya, air matanya pun mengaliri
pipinya, terasa hangat, ia sibak perlahan, selembut mengusap cinta pada
suaminya.
“di mana kamu
kang?” “tidakkah kamu rindu pada kami, sedangkan kami selalu menantimu.” Jerit
hati ibu Nuriyah. Siang, malam hanya doa yang menemani Ibu Nuriyah, ia
panjatkan, memohon ampunan Ilahi atas semua yang telah dilakukannya, ia
menangis, mendekap rasa sabar, menyibak rasa bimbang dalam menanti suaminya.
Sebelum Azka
lahir, kang Dirman selalu menimang-nimang dengan usapan lembut, selembut kasih
yang tak pernah terukur peri, bicara dalam daya yang tak nyata, kang Dirman
kembali mengusapnya dalam kandung ibunya. Bayi pun menendang-nendang perut
ibunya, kami pun terkekeh bersama. “nanti kalau kamu sudah lahir, bapak akan
main kuda-kudaan denganmu.” Tukas kang Dirman pada calon bayi kami. “Dan nanti
kalau kamu sudah gede jangan lupa bantu ibu ya nak!” sambung ibu Nuriyah. Lalu
keduanya bertatap muka disambut senyum kegembiraan.
Matahari sudah
sepenggalah, namun Azka belum bangun juga. Mungkin Azka kecapean, pikir Ibu
Nuriyah. Azka dibiarkan saja dalam tidurnya, hari semakin siang, semua
aktivitas Ibu Nuriyah sudah dibereskannya, namun Azka masih terlelap dalam
tidurnya. “ada apa dengan Azka?” akhirnya ibu Nuriyah beranjak ke tempat
tidurnya. “Ya Allah.” Ibu Nuriyah kaget bukan kepalang. “kamu kenapa nak,
badanmu panas sekali?” Ibu Nuriyah mulai panik, wajah Azka pucat, dia lemah
sekali, anak yang berumur satu tahun ini, kini dia jatuh sakit. Azka dilarikan
ke Puskesmas terdekat. “Ya Allah, Azka sakit apa nak?” isaknya mulai kentara,
lambat laun air mata ibu Nuriyah mengalir. “seandainya kang Dirman ada di sini,
mungkin tak begitu berat beban ini”. Keluhnya keluar, air matanya terus
mengalir menangisi anak semata wayangnya. “Ibu Nuriyah…” seorang perawat
memanggilnya. Ibu Nuriyah tersadar dari lamunannya, “iya bu”. Ia bergegas menghampiri perawat itu, “silakan,
sekarang ibu bisa lihat kondisi Azka”. Azka menangis, lalu memeluk ibunya
erat-erat, Azka mengisak, lalu Ibunya
menyeka air matanya, “jangan nangis ya sayang.” Rayu Ibu Nuriyah. “namanya
bagus ya bu.” Perawat itu komentar nama Azka. “ Muhammad Azka Ramadhan jangan
nangis ya.” Perawat menimpali dengan nama lengkapnya. Azka pun diam, hanya
terdengar isak yang makin menyusut. “mbak kalau boleh tahu, Azka ini sakit apa?
Ibu Nuriyah mulai menanyakan dengan apa yang diderita Azka. “nggak ada yang
perlu dikhawatirkan bu, Azka hanya demam biasa saja, mungkin besok juga sudah
baikan.” Jelasnya. Mendengar itu, Ibu Nuriyah sedikit lega. “ibu ini resepnya,
silakan ibu tebus ke apotek ya, dan semoga Azka cepat sembuh.” “terima kasih
mbak.”
Sepanjang
perjalanan, ibu Nuriyah mendekap Azka dengan eratnya, “cepat sembuh ya nak!”
Sambil mengecup keningnya penuh dengan kasih sayang, tiba-tiba Azka menggeliat,
lalu mengucap “Ba… Ba…”. Azka memanggil bapaknya, namun suaranya tak jelas,
anak berumur satu tahun ini merindukan bapaknya, dia mengulang kembali “Ba.. Ba.”
Terbata-bata, namun Ibu Nuriyah memahaminya. Azka lahir diawal bulan ramadhan.
Kang Dirman yang memberi namanya. Ya, kang Dirman mencatatkan Muhammad Azka
Ramadhan, satu bulan ramadhan Azka mendapatkan perhatian penuh dari bapaknya.
Pagi, siang ataupun malam, kang Dirman siap siaga bersamaku menjaga Azka. Kami
sangat bahagia kedatangnya, ia hadir bagaikan penyihir kehidupan bagi kami.
Penyihir kebagiaan yang tak ternilai.
Sebelum hari
raya tiba, kang Dirman telah memutuskan untuk pergi ke negeri Jiran. “Bu
setelah lebaran, bapak mau ikut pak Sutarman ke Malaysia, mungkin ini keputusan
yang harus bapak ambil, demi kita. Ya demi bapak, ibu dan Azka.” Ibu Nuriyah
terdiam, sulit untuk mengatakan perasaannya. Beberapa menit sunyi, hanya
gerakan tubuh Azka yang menyambut hal itu. “apa bapak sudah siap segalanya?”
Ibu Nuriyah pun angkat bicara. “selagi ibu mendukung, bapak selalu siap.”
Tegasnya. Tiba-tiba Azka menangis histeris dipangkuan ibunya. “kamu kenapa
nak?” cup…cup…cup. Rayunya. Tangisnya makin keras, kulitnya memerah seperti
kebakaran, tangis itu makin kencang dibuatnya. “coba bu, bapak yang gendong
Azka.” Pinta kang Dirman. Anaknya masih rewel, tak henti nangisnya, namun tak
sekencang tadi. Kang Dirman menimang-nimang, namun masih terdengar rengekannya.
Tiba-tiba ia ingat pesan gurunya waktu di pesantren. “jika kamu nanti punya
anak Dir, didik anakmu secara agama. Apapun itu bentuk. Contohnya, kalau anakmu
nanti sedang rewel. Nangis misalnya, coba kamu bacakan Sholawat untuknya, insya
Allah anak itu akan merasa damai dalam pangkuannya orang itu.” Lalu bapak Azka diam sejenak, melirik ibunya.
Dan kemudian bersholawat untuk Azka. “sholatullah…
sholamullah… ala thoha Rasulillah… sholatullah… sholatmullah, ala yaa sin habibillah…”
Tangis Azka pun mereda. Bapaknya terus berulang-ulang membacakan sholawat
untuknya. Azka tersenyum memandangi bapaknya.
Sepulang dari
Puskesmas, ibu Nuriyah bengong sendiri. Memandangi Azka yang sedang tidur
lelap. “semoga kamu ketemu ayah ya nak!” gumamnya. Lalu ibu Nuriyah membacakan
sholawat seperti yang dilakukan suaminya.
“sholatullah… sholamullah… ala thoha Rasulillah… sholatullah… sholatmullah, ala
yaa sin habibillah…” ia berulang-ulang bersholawat seperti halnya kang
Dirman. Wajah Azka berseri, lebih segar dan nyaman tidurnya, bibirnya melebar,
senyum. “apa kamu sedang bermimpi ketemu ayahmu nak?” tanyanya syahdu.
“Bu Nur… bu
Nurrr…. “. Ibu Nuriyah mencari suara itu, suara khas Anita. “ada apa Nita, kok
kamu lari-lari begitu?” tanya Ibu Nuriyah. “ini bu, ada telpon dari Malaysia,
bapaknya Azka.” Tukasnya. Anita kelelahan, dia nyaris menjatuhkan diri di
bale-bale depan rumah Ibu Nuriyah. “Subhanallah, Allahu Akbar.” Ibu Nuriyah mengucapkan
Asma Allah mendengar ada telpon dari suaminya itu. Setelah Anita sedikit
tenang, ia menyerahkan telpon gengamnya pada Ibu Nuriyah.
Ibu Nuriyah
melepas kangennya, melepas kerinduan setelah setahun lamanya tak bersua. “Jadi
begitu bu kejadiannya, setelah bapak pisah dengan pak Sutarman, dompet bapak hilang,
mungkin jatuh, tapi ntah di mana. Dan semua dokumen penting ada di dompet itu,
termasuk nomor telpon yang bapak simpan.” Jelas kang Dirman diakhir
pembicaraan. “iya kang, syukur
Alhamdulillah kalau akang di sana
baik-baik saja, kami juga di sini dalam keadaan sehat, tapi Azka lagi demam,
mudah-mudahan dia cepat pulih kembali”. Aamiiiin. Telpon pun diakhiri.
Depok, … Februari 2014
Muhamad Sakir.